Di masa lalu, gelar yang didapatkan oleh seseorang setelah lulus kuliah hampir dipastikan dapat menjamin pekerjaan yang layak di bidang yang Anda pilih. Akan tetapi, siapa pun yang lulus dalam dekade terakhir ini akan tahu bahwa tidak lagi demikian. Pasalnya, lapangan pekerjaan dan pendidikan tinggi saat ini sangat kompetitif dan tak sedikit pula yang pesimis untuk melanjutkan pendidikan dikarenakan mereka berpikir bahwa sekolah tinggi pun tidak lagi dapat dijadikan patokan akan mendapat pekerjaan dengan gaji yang layak. Mari kita lihat hasil publikasi statistik pada tahun 2019 yang dirilis oleh BPS seperti dimuat Katadata (arsip halaman) (17/5/19).
Dari data yang dirilis lulusan Diploma I/II/III yang tidak mendapatkan pekerjaan mengalami kenaikan sebesar 8,5%. Sedangkan untuk lulusan yang lebih tinggi justru mengalami peningkatan pengangguran yang sangat signifikan yaitu sebesar 25%. Meskipun secara keseluruhan tren pengangguran di Indonesia berdasarkan data tahun 2019 mengalami penurunan, hal ini membuktikan bahwa ada potensi yang hilang dari para lulusan pendidikan yang lebih tinggi. Mengingat pekerja yang hanya menyelesaikan pendidikan lebih rendah seperti SD, SMP, SMA/SMK mengalami penurunan pengangguran. Ada beberapa alasan mengapa tingkat pengangguran dari lulusan pendidikan yang lebih tinggi ini tidak mendapatkan pekerjaan yang diantaranya adalah:
- Keterampilan yang tidak sesuai dengan kebutuhan
- Penyediaan lapangan kerja yang terbatas dan tidak seimbang dengan jumlah lulusan
- Ekspektasi penghasilan dan menginginkan status (jabatan) yang lebih tinggi
Dari 3 poin di atas, ada yang perlu kita fokuskan di mana keterampilan dari lulusan yang tidak sesuai kebutuhan perusahaan dan ekspektasi penghasilan/jabatan yang diinginkan. Bagaimana tidak, seorang lulusan baru (fresh graduate) dari universitas tentunya berpikir bahwa dengan ijazah yang ia miliki dapat mengisi posisi penting di suatu perusahaan dan berharap dapat gaji yang layak. Namun, di sisi lain, keterampilan yang ia miliki tidak sesuai karena materi dan praktik yang didapatkan tidak memiliki relevansi dengan perusahaan. Sebagai contoh, seorang lulusan D3, ingin mengisi jabatan sebagai sales supervisor dengan berbekal ijazah dan nilai tinggi, sedangkan basic pendidikannya bukanlah pada sales, marketing atau bisnis melainkan berada pada basic yang berbeda. Inilah yang kemudian membuat perusahaan menolak pelamar tersebut.
Sedangkan mereka yang memiliki pendidikan lebih rendah berani merintis dari bawah meskipun ia tidak memiliki keterampilan pada bidang tersebut sebelumnya. Bahkan, mereka pun berpikir bahwa pendapatan mereka akan meningkat seiring dengan loyalitasnya dalam bekerja tidak seperti mereka yang lulus pendidikan lebih tinggi yang menilai bahwa ijazah dan nilai yang didapatkan tidak layak untuk dibayar murah.
Dari kondisi yang terjadi pada tahun 2019 lalu mengindikasikan bahwa sudah seharusnya pendidikan di Indonesia berbenah dengan melakukan personalisasi pendidikan dengan fokus pada minat pelajar. Dengan menggunakan sistem LMS (Learning Management System), pengajar dapat mencari bibit-bibit berbakat yang dapat diarahkan sesuai minat alami mereka. Adopsi pendidikan Flipped School dan Blended Learning merupakan titik awal bagi pengajar untuk menemukan minat dan mengasah keterampilan yang dimiliki oleh pelajar tersebut. Ketika keterampilan pelajar meningkat selama menjadi mahasiswa/pelajar, ia akan mampu menyaring pekerjaan mana yang seharusnya ia pilih. Bahkan, dengan berbekal keterampilan tersebut, pelajar dapat mengambil keputusan yang lebih baik dengan menjadikan keterampilannya sebagai jasa yang ia tawarkan secara individu atau berkolaborasi yang pada akhirnya mereka pun berhasil mendirikan bisnis mereka sendiri. Hal semacam inilah yang seharusnya mulai dijadikan titik kebangkitan pemuda-pemuda Indonesia agar tidak hanya bergantung pada ketersediaan lapangan pekerjaan namun mereka justru berhasil membuka lapangan pekerjaan.
Keterbukaan pengajar kepada para pelajar untuk bisa membawa keterampilannya ketika lulus dan juga bekal pendidikan untuk menjadi entrepreneur haruslah dimulai dari awal mereka masuk kampus. Sehingga, mereka tidak hanya mencari pekerjaan namun akan mendorong motivasi mereka untuk bisa mendapatkan posisi yang lebih tinggi sebagai pemilik bisnis agar ketika lulus mereka tidak hanya menambah jumlah lulusan pendidikan tinggi yang menganggur. Apabila jumlah pengangguran dari lulusan pendidikan tinggi meningkat, maka tingkat pesimistis calon pelajar akan semakin tinggi dan bukan tidak mungkin dengan budaya dan mindset masyarakat di Indonesia akan lebih memilih untuk tidak kuliah jika pada akhirnya hanya menjadi seorang pengangguran atau tidak mendapatkan jabatan dan gaji yang tidak layak.
Ilustrasi (c) Unsplash.com